SANDIWARA PERAWAN (Emang Perawan Bisa Menyusui?)

SANDIWARA PERAWAN (Emang Perawan Bisa Menyusui?)

"Saya bisa bantu merawat dan menyusui bayinya, Mas." 

"Tapi Mbak Rhe kan masih gadis?"

Dalam kekalutan dan kebingungan harus pergi ke mana setelah diusir mamanya, Rheina menerima tawarkan mengurus bayi dari seorang laki-laki yang ia kenal di bus. Sebuah ide gila, sebab gadis itu belum pernah menikah apalagi melahirkan.

Bagaimana bisa Rheina menyusui bayi sedangkan ia masih perawan? Apakah ia akan menerima jika imbalannya adalah rupiah dan sebuah rumah?

Siapakah Rheina? Kenapa ia tiba-tiba ada dalam kehidupan Wiji dan bayinya? 

***
1. Lelaki Tampan Di Bus

Mentari sore bersiap rebah ke peraduan, ketika sebuah bus kelas bisnis melintas ke timur dengan kecepatan sedang. Tol cukup lengang, namun ada kegelisahan di kursi-kursi penumpang. 

Seorang lelaki dewasa, sibuk menimang bayi merah berusia tiga hari yang terus menangis dalam pangkuan. Tangannya yang panjang menjangkau korden jendela, menghalau sinar jingga yang menyilaukan.

"Masih merah udah dibawa jalan jauh."

READ MORE
"Mamanya mana?"

"Kasihan loh itu. Rewel mulu. Pasti haus."

“Baru lahir banget kayanya. Masih bau harum. Bahaya kalau ketemu orang jahat.”

Suara berisik dan komentar penumpang mengawal perjalanan lelaki yang gugup itu. Ia yang belum berpengalaman mengurus bayi terlihat panik dan tidak tahu harus berbuat apa. 

Rheina yang awalnya mencoba untuk tidak peduli sebab sedang kalut oleh masalahnya sendiri, akhirnya menoleh. Ibanya jatuh. Punggung lelaki itu berkeringat meski AC mobil cukup dingin. Suhu yang membuat Rheina pun nyaris menggigil. 

Ia lalu berdiri. Sebuah alasan bergaung di kepalanya.

“Maaf, Mas. Boleh geser?” Lelaki itu mendongak, melongok ke kiri ke kanan dengan wajah heran, sebab banyak kursi kosong selain di sebelahnya, meski ia akhirnya bergeser juga. Rheina lekas duduk tepat di sebelahnya. 

"Bisa saya bantu? Kasian nangis terus dari tadi," tawar Rheina ramah. 

"Eh, iya, Mbak. Maaf. Tapi merepotkan Mbak e." Lelaki itu terlihat kikuk saat menyerahkan bayinya. “Saya belum biasa pegang bayi,” lanjutnya. 

Rheina perlahan menerima bayi merah itu dan menimang dengan luwes. Tidak sia-sia ijazahnya bergelar S. Kep. 

"Bawa susunya nggak? Tolong buatin."

Lelaki itu mengambil tas bayi berwarna pink di bawah kakinya dan mulai menyeduh susu. Tangannya gemetaran. Air panas dari termos terpercik membasahi celananya saat kendaraan oleng ke kiri. Ia meringis.

"Mamanya ke mana?" tanya Rheina basa-basi.

"Apa, Mbak?" Ia menoleh.

"Mamanya ke mana?" 

"Mamanya, eh, eem ... enggak tahu ke mana."

"Kok, bisa, Mas nggak tau istrinya ke mana. Jangan-jangan Mas menculik bayi ini?" Rheina menatap sambil menyipitkan mata.

"Eh, nggak, Mbak. Serius ini anak saya." Ia gelagapan. Pahanya semakin basah terkena tumpahan. Ia salah tingkah. "Mamanya pergi. Tepatnya dibawa pergi orang tuanya. Pas masih di rumah sakit, tiba-tiba dia udah nggak ada. Cuma nge-WA bilang pamit dan minta maaf."

"Kok, bisa?"

"Ceritanya panjang, Mbak," katanya sambil menyerahkan botol susu.

Rheina menerima dot dari tangan lelaki asing itu dan mulai memberikan pada bayi merah dalam dekapannya. Ia piawai selayaknya seorang ibu. Ia juga mengendus popok yang mulai berbau bacin.

“Kapan popoknya terakhir diganti?”

“Tadi di rumah sakit.”

Rheina menggeleng pelan dan berdecih. Sudah beberapa jam bocah ini tidak bersalin diapers. Ia menatap bayi yang mulai tenang dan bermata bening itu dengan rasa kasihan yang lindap tanpa diundang. 

“Sebaiknya kita ganti popoknya sekarang. Khawatir ruam popok kalau kelamaan basah,” ujar Rheina setelah bayi itu menghabiskan setengah botol susu. Ia sedang menyendawakan dengan menyampirkan bocah itu ke pundaknya, sambil menepuk-nepuk punggungnya perlahan. 

Bunyi sendawa terdengar beberapa kali seiring bahunya yang basah oleh sisa susu dari mulut bayi yang ikut tumpah.

“Nggak bahaya diberdiriin gitu, Mbak?” kata sang ayah dengan sorot khawatir. Pertanyaan yang membuat Rheina tertawa.

“Enggak, dong. Kan nyampir ke dada saya. Udah sendawanya, Nak? Kita ganti popok lagi, yuk,” kata Rheina penuh sayang. Perlakuan yang membuat lelaki di sebelahnya terpesona menatap malaikat penolongnya.

“Gimana caranya, Mbak? Apa saya pindah dulu?”

“Nggak perlu. Duduk aja di situ, bantuin saya.”

Gadis cantik blasteran itu cekatan meletakkan bocah itu ke pangkuan dan meraih tisu basah yang ia pinta dari sang ayah. Ia lalu meminta tisu kering, diapers baru, plastik bekas untuk membuang sampah, dan lain-lain. Lelaki pemilik bayi itu seakan menjadi asisten Rheina yang patuh melakukan semua perintah gadis yang baru dikenalnya.

Rheina pikir, masalahnya selesai sampai di sana. Tetapi setengah jam kemudian, bayi di pangkuannya mulai rewel dan muncul ruam kemerahan di sekitar pipi dan bibirnya. Bayi itu menangis seperti menahan sakit.

“Dikasih sufor sejak kapan?” tanya Rheina waspada.

“Apaan, Mbak?”

“Dikasih sufor, susu formula, sejak kapan?”

“Baru ini. Tadi pagi masih minum ASI dari mamanya. Ditinggalin satu botol juga. Kenapa, Mbak?” 

“Anak Mas sepertinya alergi susu sapi. Kita harus berhenti di sini.”

“Di sini? Sawah sama hutan ini, Mbak. Menjelang Maghrib. Mbak-nya bukan kuntilanak, kan?”

“Wooo!” Mata Rheina mendelik jenaka.

Seperti tersadar, ia ikut melongok ke luar jendela. Benar saja, bus sedang melaju di antara sawah dan ladang.

“Ah, iya. Sawah semua. Nanti kalau masuk kota atau di rest area. Kita harus ke rumah sakit segera.”

Melihat wajah anaknya yang memerah dan tangis yang makin melengking, lelaki itu ikut cemas. Ia bergerak tidak nyaman. Sesekali lelaki itu melihat jam di pergelangan tangan, kali lain melongok ke luar jendela.

Baru satu jam kemudian, bus berhenti di tempat peristirahatan sekaligus memberi waktu penumpang salat Magrib.

“Kita berhenti di sini,” kata Rheina memutuskan. Lelaki itu terlihat ragu, meski akhirnya patuh. Tangis bayinya membuat sang ayah luruh. Kegelisahan penumpang lain juga membuatnya tidak enak hati untuk bertahan di armada itu.

“Pesan taksi, Mas Wiji. Ke rumah sakit terdekat,” pinta Rheina buru-buru. Di sampingnya ada koper besar dan paper bag berisi peralatan make up miliknya. Sementara bawaan lelaki itu hanya sebuah ransel kecil dan tas bayi. 

Ganteng-ganteng namanya Wiji. Ndeso. Kata Rheina dalam hati.

“Mbak tahu nama saya?” Lelaki yang sedang sibuk dengan ponselnya itu menoleh heran. Rheina gelagapan.

“Saya baca name tag di tangan bayi Mas-nya. Belum dilepas. Ada nama istri Anda juga.”

“Oh, iya. Saya lupa. Kalau Mbak namanya siapa?”

“Rheina. Rheina Kimberly. Panggil aja Rheina atau Rhein.” 

“Mbak Rhein udah nikah?”

Rheina hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Tapi luwes sekali ngurusin bayi."

***

“Anak Bapak dan Ibu alergi susu formula. Kenapa tidak disusui sendiri aja, Bu? Kasihan bayinya. Ada salah satu kandungan protein dalam susu formula yang direspon imun bayi Ibu secara berlebihan,” terang Dokter dengan wajah simpatik. Sebab kondisinya yang mengkhawatirkan, dokter yang menangani belum sempat melakukan anamnesa biodata ayah dan ibu si bayi. Ia menyangka Wiji dan Rheina adalah orang tua pasien.

Wiji dan Rheina saling pandang dalam kebingungan.

“Saya? Eh, iya, Dok. ASI saya belum keluar sama sekali. Masih kempes. Boleh minta resep untuk saya sekalian?” Rheina menjawab gugup.

Wiji menautkan alis, namun tidak bicara apa-apa. Dokter itu pasti akan sungkan kalau tahu bahwa ia dan perempuan yang menolongnya tidak memiliki hubungan apa-apa.

“Baik. Silakan ditunggu sebentar.”

Dokter yang terlihat ramah itu lalu memberikan dua resep, satu untuk bayinya dan satu lagi untuk Rheina.

“Sementara bayinya biar istirahat di sini, Bapak dan Ibu bisa ikut perawat ke ruang laktasi, petugas akan mengajari cara masase payudara untuk merangsang produksi ASI.”

“Eh, gimana?” Rheina terkejut, demikian pula Wiji. Wajah keduanya tegang saat perawat yang sedari tadi berdiri di belakang mereka mempersilakan untuk ikut.”

***

Bab 2. Lihat? Jangan? 

Sadar perawat dan dokter itu melihat mereka sedemikian rupa, Rheina dan Wiji yang berdiri ragu di depan pintu akhirnya pasrah dan mengikuti langkah petugas ke sebuah kamar tertutup.

“Ibu, silakan duduk di sini, Bapak berdiri dekat saya sekalian belajar. Nanti di rumah bisa buat bantu istri Bapak.”

Wiji menelan ludah sedangkan Rheina seakan diserbu ketegangan menara sutet ribuan volt. Ia merasa nyaris kejang. Gadis itu tidak menyangka ide menolong seseorang berakhir menyusahkan.

Melihat perempuan itu hanya berdiri bengong seperti orang hilang, perawat dengan sabar menuntun Rheina ke kursi pesakitan. Habis sudah. Otak gadis itu berhitung, apa yang harus ia lakukan. Pasrah tubuhnya dijadikan phantom praktikum atau ia akan berteriak dan menjelaskan semua dengan jujur bahwa status mereka bukan siapa-siapa?

Tapi tadi aku udah bilang sama dokternya minta resep pelancar ASI. Apa dia nggak malu udah sok yakin aku istrinya mas ndeso itu tapi ternyata bukan? 

Rheina menyesal sampai ke tulang-tulang dan melangkah seperti robot, mengikuti arah tangan perawat yang menuntunnya. Ia duduk kaku di kursi stainless yang dingin itu. Suhu ruangan yang dilengkapi Air Conditioner membuat ujung jari tangan dan kaki gadis itu terasa beku.

Ia berpaling melihat Wiji dan memberi kode dengan kedipan mata, meminta tolong lelaki itu untuk membantu keluar dari situasi gawat ini, namun yang diajak berkomunikasi non verbal seolah sengaja mengabaikan dan tidak peduli.

“Apa?” kata Wiji. Ia hanya menggerakkan mulutnya tanpa suara, membuat Rheina mengerutkan alis dan mengerucutkan bibir. Ia kesal luar biasa.

Dasar nggak peka!

Mata Rheina beralih pada perawat yang sedang sibuk menyiapkan beberapa baskom, waslap, minyak telon, dan entah apalagi. Peralatan itu ditata sedemikian rupa ke dalam baki. Debaran dalam dada Rheina semakin menggila. Gadis itu seperti melihat algojo sedang mengasah pedang untuk mencincangnya.

Bunyi langkah sepatu pantofel petugas berseragam putih dengan kap menghiasi kepala mendekatinya, membuat jantung Rheina seperti hendak berhenti berdetak. Ia menggigit bibir.

“Mas,” bisiknya lirih.

“Apa?” jawab Wiji dengan tampang polos.

Rheina baru saja hendak membuka mulut saat mendengar perawat itu bersuara.

“Agak deket ke sini, Pak. Biar saya ajarin sekalian.”

Rheina semakin tegang. 

“Ibu masih mules?” tanya perawat.

“Iya. Mules banget.” Rheina menjawab jujur. Stres memang sering membuatnya diserbu perasaaan tidak nyaman.

“Darahnya masih keluar banyak?”

“Ha?” Otak Rheina loading. Semua ilmu yang ia dapat di bangku kuliah auto menguap.

“Darah nifasnya, Ibu.”

“Oh, i-tu.” Rheina menjawab gelagapan. “Masih lumayan. Normal, sih.” Gadis itu gemetaran. Ekor matanya berkali-kali melirik petugas yang sibuk mencelupkan waslap dan handuk kecil ke dalam baskom sambil terus bertanya padanya.

“Kemarin lairannya normal? Dijahit berapa?”

Mulutmu yang harus dijahit, Mbak! Mbok diem to! Rheina hampir menangis, sedangkan Wiji di belakangnya terbatuk beberapa kali.

“Normal. Saya normal.”

Iya, Mbak Perawat. Saya normal. Tapi hari ini lagi agak gila. Rutuknya dalam hati.

“Baik. Kita mulai, ya. Mohon maaf sebelumnya kalau nanti agak tidak nyaman. Boleh minta tolong dibuka baju bagian atasnya?”

“Ha?”

Lelaki asing di belakangnya kembali terbatuk seperti keselek sambal.

“Baju atasannya dibuka. Kalau dikompres dan dimasase tetep pakai baju gimana? Basah semua nanti.”

“Anu, Mbak. Suami saya biar di luar aja. Saya malu.”

“Nggak bisa begitu. Maksudnya, ini sekalian diajarin, biar di rumah nanti suami Ibu bisa bantu masase rutin tiap pagi, biar ASI-nya lekas keluar.”

“Di-a pemalu orangnya, Mbak. Saya juga malu. Biar nanti saya yang ajarin di rumah. Iya, kan, Mas?” tanya Rheina meminta persetujuan.

“Eh, i-ya. Saya keluar aja.”

Wiji segera hengkang dari tempat itu. 

“Aduuh!”

Rheina melirik. Saking terburu-buru, jidat Wiji membentur pinggiran pintu hingga terdengar bunyi gedubrak. Ingin rasanya gadis itu ngakak namun ia telan rasa geli itu sebisanya. Perawat di samping Rheina tersenyum dan geleng-geleng kepala.

“Pengantin baru ya, gitu. Masih malu-malu kalau di depan orang.”

Pengantin baru dari mana, Mbiiaak! Baru juga ketemu. Rheina menjerit dalam hati.

“Bisa kita mulai sekarang?”

Gadis itu mengangguk dan mulai membuka pengait blusnya bagian atas. Namun, gerakannya perlahan terhenti dan menoleh pada perawat yang sabar menunggu di sebelahnya. Telapak tangan perempuan muda berseragam itu sudah siap dengan sarung tangan karet yang terpasang.

Otak Rheina kembali berputar mencari alasan.

“Uum, gini, Mbak. Saya kan juga mahasiswa perawat, cuma belum ambil profesi aja.”

“Oh, gitu.” Perawat itu tersenyum ramah dan mengangguk-angguk. “Sejawat dong kita.”

“Nah, iya. Makanya kita kongkalikong, deh. Tulis aja dilaporan, pijat laktasinya udah dilakukan. Please. Saya orangnya gampang geli. Makanya mau secapek apa pun nggak pernah dipijat. Risih. Ntar kalau memang lupa, saya liat di buku praktikum, deh. Ya? Yaa?” Rheina merayu. Perawat di depannya tertegun mendengar penuturan pasiennya itu. “Saya lakukan sendiri saja sama suami di rumah.”

“Beneran, nih, nggak apa-apa?”

“Beneran, Mbak. Serius.” Rheina bergerak cepat menautkan kembali kancing bagian atasnya yang sempat terbuka. “Saya masih ingat, kok, step-step-nya. Begini, kan?”

Rheina lalu memperagakan gerakan memutar, naik turun dengan genggaman tangan serta menyebutkan jumlah setiap item gerakan. Tidak lupa, ia sambil menunjukkan bagian-bagian yang harus dimasase, termasuk ketiak.

“Pakai baby oil. Kompres hangat, dingin setelahnya. Gitu, kan?”

Perawat di sebelahnya bengong sesaat melihat bagaimana lancarnya Rheina mempraktekkan gerakan.

“Ibu pinter. Pasti juara di kelas.”

Rheina nyengir, hatinya pepat, teringat ia tidak bisa melanjutkan ke jenjang profesi karena terkendala dana. Memang, semua adalah kesalahannya juga.

“Jangan lupa step terakhir yang harus dibantu suami.” Perawat bergerak cepat dan kini sudah berdiri di belakang Rheina. Ia merasakan tangan petugas itu memijat tulang belakangnya. Perawat itu menyusuri bagian luar sisi tulang belakang dari atas hingga tulang ekor. Rheina merasakan sensasi nyaman.

Tangan itu terasa mengepal dengan ibu jari melakukan gerakan memutar dari atas ke bawah. Rheina semakin terbawa suasana. Sesaat, ia melupakan masalahnya.

“Selain membantu keluarnya Hormon Oksitosin dan Prolaktin, juga menghambat pelepasan Kortisol yang bikin Ibu stres sehabis melahirkan,” terang perawat itu mengingatkan.

Rheina terhenyak. Pantas saja barusan ia merasa sangat nyaman.

“Iya, saya ingat,” katanya mengalihkan.

Mereka berbincang sebentar sebelum akhirnya gadis itu pamit.

***

Hari sudah cukup malam ketika mereka keluar dari gedung rumah sakit.

“Kenapa tadi nggak bantuin? Sengaja mau liat?” protes Rheina. Ia kesal bukan main. Gadis itu merasa menyesal sudah membantu Wiji, meski kini, bayi yang belum ia ketahui namanya tetap menempel di dekapan Rheina.

“Mana saya tahu kalau harus buka baju.” Wiji garuk-garuk kepala.

“Dasarnya sengaja!” Gadis itu masih kesal.

“Sumpah, Mbak! Saya nggak ngerti begituan. Masase masase apalah. Lagian Mbak Rhe udah bantuin anak saya, apa iya saya mau iseng?”

Rheina terdiam. Panggilan Rhe terdengar manis di telinganya.

“Saya minta maaf karena nggak paham.” Wiji menghela napas. “Udah nggak usah dibahas. Sekarang saya udah paham apa itu pijat laktasi. Lain kali saya keluar, deh. Sekarang kita pikirkan mau nginep di mana.”

“Keluar, deh! Emang mau diulang lagi?” protes Rheina lagi.

Sesaat, Rheina terdiam. Kini, ia sepenuhnya tersadar. Tidak mungkin mereka mencari bus antar kota antar propinsi tengah malam segini, apalagi harus masuk terminal yang entah di mana, sambil membawa bayi yang sedang tidak sehat.

“Kita nginep di sini dulu,” putus Wiji tanpa minta persetujuan.

“Ha?” 

Sesaat Rheina nge-bug.

*** 

Sudah tamat di KBM App yaa. 

Kalau mau buruan baca bab selanjutnya bisa ke wall penulisnya Airin Ahmad

Post a Comment

Konsultasi Bidan Kita

Previous Next

نموذج الاتصال