KECINTAAN SUAMI ORANG

KECINTAAN SUAMI ORANG


Tidak ada yang tahu alamat kos-kosanku di Jakarta. Bahkan Ibu sekalipun. Jadi, bisa dipastikan Mas Abim tidak dapat menemuiku.

Selepas mengakhiri telepon dengan Ibu, aku kembali menyelesaikan pekerjaan di laptop. Aku tidak mau membuang-buang waktu hanya untuk memikirkan Abimanyu. Atau … jangan-jangan dia datang ke rumah Ibu hanya formalitas? Dia tidak mungkin meninggalkan pesta yang tengah berlangsung, kan?

Fokus, Amara. Fokus! 

Berkali-kali aku mendongak, menatap plafon kusam agar air mata tidak keluar. 

Hari ini terlewati dengan baik. Setidaknya, aku tidak menangis sepanjang waktu. Namun, menjelang malam, Ibu menelepon. Beliau mengaku bahwa keluarga Mas Abim ada yang datang memaksa untuk meminta nomor ponselku. 

"Berikan aja, Bu." Aku tidak mau Ibu menjadi sasaran kemarahan keluarga Mas Abim. Jadi, lebih baik mereka berkata langsung padaku. 

Sempat terdengar beberapa orang bicara kepada Ibu, sebelum akhirnya panggilan terputus secara sepihak. Beberapa saat kemudian, ada nomor baru yang meneleponku. Tanpa salam, tanpa basa-basi, orang itu bertanya dengan nada yang pongah. 

"Mana Abim?" 

"Saya nggak tau," jawabku. 

"Jangan bohong! Tadi pagi Abim pergi setelah akad. Pasti dia sedang bersama kamu!" Pria itu membentak. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana dia memperlakukan Ibu, jangan-jangan sama kasarnya seperti kepadaku. 

"Saya nggak bohong. Saya sudah nggak ada hubungan apa-apa sama Abim."

"Amara, saya pastikan kamu dan ibumu akan menderita karena sudah bermain-main dengan keluarga saya!"

Aku tidak tahu siapa pria itu. Suaranya terdengar asing, jadi aku tidak bisa menerka-nerka. Yang jelas pasti dia orang suruhan keluarga Mas Abim. Atau … justru keluarga Jihan? 

"Bukan saya yang bermain-main, tapi Abim yang mempermainkan saya!" Apa dia pikir, aku akan takut gertakan? 

"Kirim alamat kamu sekarang!"

"Anda tidak berhak membentak saya!"

"Cepetan kirim alamat kamu! Kalau enggak, berarti Abim di situ!"

READ MORE
"Terserah. Saya nggak punya waktu untuk meladeni Anda!"

"Baik. Kalau begitu, kamu berarti mau lapak jualan ibumu diobrak-abrik?"

Ancaman macam apa ini? Kenapa mereka senang sekali menindas orang miskin seperti kami? 

Sebenarnya, aku tidak takut. Namun, kalau sudah menyangkut tentang Ibu, aku tidak mau menanggung resiko. Maka, dengan sangat terpaksa aku memberikan alamat kos-kosan di sini. Entah apa yang akan mereka lakukan selanjutnya, tapi untuk berjaga-jaga, aku memberi tahu Bu Sonya. Setidaknya, jika aku kenapa-kenapa, ada pihak-pihak yang bisa dicurigai. 

"Kamu nggak perlu khawatir, Amara. Kos-kosan teman saya itu ada CCTV-nya. Nggak sembarangan orang bisa masuk karena ada petugas keamanan."

Aku sedikit tenang. Hanya sedikit, karena nyatanya kekhawatiran menghantui sepanjang malam. 

***

Karena penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka Instagram setelah beberapa hari menutup akun. 

Belum ada satu menit membuka Instagram, puluhan notifikasi bermunculan. Banyak yang DM, menanyakan nomor baruku, memberikan kata-kata penyemangat, dan … ada juga yang mengirim video ijab kabul Mas Abim. 

Di dalam video itu, tampak jelas Mas Abim dan istrinya duduk berdampingan. Perempuan itu cantik. Serasi sekali disandingkan dengan Mas Abim. Dan yang paling penting, mereka sepadan, kan? 

Tadinya, aku enggan menonton video itu sampai selesai, tapi pesan di bawahnya membuat aku penasaran karena temanku mengatakan bahwa Mas Abim sempat salah mengucap nama saat ijab kabul. 

Pada menit kedua di video itu, aku memejam. Bisa-bisanya Mas Abim menyebut namanku! Terang saja, prosesi ijab kabul itu dihentikan, lalu diulangi lagi. Benar-benar sembrono!

Ada video lain yang memperlihatkan mempelai wanita duduk sendirian di pelaminan. Dalam keterangan pesan yang menyertai, katanya Mas Abim sudah kabur setelah salah satu teman semasa kuliah mengatakan aku pergi ke Jakarta. 

Aku menghela napas dalam-dalam. Siapa orang yang sudah memberi tahu aku ke Jakarta? Aku menghela napas dalam-dalam. Siapa orang yang sudah memberi tahu aku ke Jakarta? Selain Ibu dan Bu Sonya, aku rasa tidak ada yang mengetahui kepergianku. Atau … tukang ojek langganan Ibu membocorkan rahasiaku? 

Dari banyaknya DM yang belum kubuka, mataku kemudian tertuju pada sebuah akun yang sepertinya asing, tapi juga terkesan familier. Jihan_utami. 

Jariku gemetar saat membuka pesan dari akun tersebut. Dan apa yang aku takutkan ternyata benar, dia adalah istri Mas Abim. Perempuan itu menanyakan tentang keberadaan suaminya. 

Banyak sekali pesan yang dikirim oleh Jihan sejak kemarin siang sampai pagi ini. Bahkan sekarang dia terlihat online. Namun, yang paling membuat aku tidak habis pikir adalah ancamannya yang hendak memenjarakan aku karena telah menyembunyikan Mas Abim. 

Jujur ini sangat lucu. Untuk apa aku menyembunyikan Mas Abim? Tidak ada gunanya! 

Walaupun hatiku hancur dicampakkan seperti sampah, tapi aku tidak akan pernah berniat membuat perempuan lain sama merananya seperti diriku. Secuil pun aku tidak berharap Jihan ditinggalkan oleh Mas Abim, terlebih di hari bahagia mereka. 

Aku membalas dengan penuh hati-hati agar tidak terjadi kesalahpahaman. "Mbak Jihan, saya tidak tau menau tentang Mas Abim. Kami sudah tidak ada hubungan apa-apa dan sudah tidak berkomunikasi. Jadi, tolong jangan sangkut pautkan saya dengan kepergian Mas Abim."

Dalam sekejap, Jihan membalas pesanku. Dia menuduhku berbohong. Caci maki turut dia lontarkan, mengatai aku sebagai perebut suaminya. 

Aku terkekeh. Takdir terlalu lucu untuk diajak bercanda. Dalam kisah ini, aku adalah korban pengkhianatan Mas Abim, tapi kenapa aku justru dijadikan terdakwa? 

Selain menghujat, Jihan juga mengirim foto-foto saat mereka prewedding. Seperti pasangan calon pengantin pada umumnya, mereka terlihat mesra sekali. Tidak kutemukan jejak keterpaksaan seperti yang Mas Abim bilang. 

Jihan terlihat sedang mengetik pesan. Tapi, sebelum dia menghinaku lebih jauh, aku segera menonaktifkan akun lagi. Aku perlu waktu untuk menenangkan diri agar tidak semakin dituduh yang bukan-bukan. 

Ini adalah hari pertama aku kerja di kantor baru. Jadi, aku harus segera bersiap ketimbang ikut campur urusan rumah tangga orang lain. Lagi pula, kejujuranku pun tidak dihargai sama sekali, malah dianggap berbohong dan menuai caci maki. 

Tanpa sarapan, aku meninggalkan kos-kosan. Aku sedang tidak berselera, biarlah nanti membeli roti saja untuk mengganjal perut. 

Beberapa penghuni kamar lain pun sama-sama hendak berangkat kerja. Namun, ada juga yang masih berlehah-leha karena masuk siang. 

Aku berjalan keluar kos-kosan. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit dari sini ke kantor, jadi aku tidak memerlukan kendaraan. 

"Mbak Amara, ya?" tanya salah seorang petugas keamanan. 

"Iya, Pak." Aku tersenyum canggung meski berusaha seramah mungkin. 

"Hati-hati di jalan, Mbak Amara. Jangan lupa kamarnya dikunci, ya."

Hanya perhatian kecil, tapi mampu membuat pagiku terasa lebih baik. Senyum ramah pria itu membuat aku berkesan, seperti seorang ayah yang melepas kepergian putrinya. 

Aku baru saja keluar dari pintu gerbang kos-kosan saat kemudian terpaku. Sekitar lima langkah dariku, seorang pria berjas hitam yang kusut masai berdiri limbung. Wajahnya terlihat letih sekali. 

"Ra …."

Dulu, wajah Mas Abim adalah satu hal yang paling aku rindukan. Namun, sekarang, dia adalah satu-satunya yang aku benci di muka bumi ini. 

"Kita harus bicara, Ra," ucapnya lirih. 

Aku menggeleng. "Aku nggak punya waktu buat meladeni suami orang!"

***

Hai, Kesayangan Suami Orang sudah part 7 di KBM App yaaa. Baca juga cerita Dilema Janda Kaya yang merupakan spin off dari Selingkuh Tanpa Menyentuh.

Post a Comment

Konsultasi Bidan Kita

Previous Next

نموذج الاتصال