AKHIBAT KUTUKAN PERJAKA TUA
Setelah tiga hari berselang, Bang Ayas belum juga pulang. Tidak memberi kabar kepada orang rumah dan sulit sekali dihubungi.
Dari keterangan Acha, baru kali ini Bang Ayas membangkang. Biasanya dia akan patuh kepada orang tua dan juga Tante Windi yang notabene pernah menganggap Bang Ayas sebagai anak.
Bahkan di usianya yang sudah memasuki kepala tiga, Bang Ayas selalu meminta pendapat kedua orang tua sebelum mengambil keputusan, seperti berhenti kerja dari perusahaan tambang dan mengutarakan keinginan berbisnis di Jakarta.
Bang Ayas adalah penurut. Berbanding terbalik dengan Bang Ezra yang sempat dua kali pindah sekolah semasa SMA karena sering berkelahi. Bang Ayas adalah si tenang, sementara Bang Ezra urakan. Keduanya sering sekali dibanding-bandingkan oleh keluarga besar mereka, dan untuk kali ini, Bang Ayas mengecewakan banyak orang dengan keteguhannya menolak perjodohan.
READ MORE
"Mungkin Bang Ayas belum move on dari mantan pacarnya kali, Cha." Aku berusaha membantu Acha untuk menguak alasan Bang Ayas kekeh menolak dijodohkan.
"Mantan pacar?" Acha mengernyit. Dia seperti berusaha menggali ingatannya dalam-dalam. Namun, setelahnya dia menggeleng pelan.
"Bang Ayas udah lama banget nggak pacaran. Hampir tiga tahunan," kata Acha. Kalimatnya terdengar meragu, mungkin sebenarnya dia tidak begitu ingat.
"Ya, bisa jadi mantan sebelum itu. Atau mungkin Bang Ayas punya pacar yang enggak kamu kenal." Aku menyesap milkshake dengan santai sembari menunggu reaksi gadis yang duduk di sebelahku.
Acha menggeleng dengan yakin. "Nggak mungkin. Bang Ayas selalu cerita kok kalo lagi naksir cewek, apalagi kalo samppe jadian."
Dari semua yang pernah diceritakan Acha, memang sangat jelas menggambarkan kedekatannya dengan Bang Ayas. Maka tak heran kalau Acha tahu masalah pribadi kakaknya, termasuk perihal asmara.
"Kamu mau bantuin nyari Bang Ayas kan, Va?"
Aku diam. Tidak mengiyakan ataupun menolak. Bang Ayas terlalu abu-abu untuk aku baca sehingga sulit untuk mengira-ngira keberadaannya.
Aku dan Acha masih berada di taman dekat gedung rektorat ketika ponsel salah satu dari kami berbunyi. Acha segera merogoh tas karena sangat berharap yang menghubunginya adalah Bang Ayas.
"Tante Windi." Ada dengkusan samar yang Acha lakukan sebelum akhirnya mengangkat telepon dan menyapa adik papanya itu.
"Acha masih ada kelas, Tante." Acha melirikku sekilas. "Sekarang kami di perpustakaan."
Acha mencabut rumput dengan asal, tampak sekali sedang kesal. Kemudian, dia berujar dengan malas-malasan. "Iya."
Kalau Acha sudah berdusta, itu artinya ada sesuatu yang tidak beres. Dan dugaanku semakin kuat karena wajah gadis itu jadi lebih keruh ketimbang satu menit lalu.
Perempuan bermata belo itu menghirup udara banyak-banyak, lalu mengembuskannya dengan kasar. Dia menatapku dengan sorot mata yang tak bisa didefinisikan. Seperti perpaduan antara ingin menangis dan juga ketakutan.
"Tante Windi mau ketemu kamu, Va. Dia nunggu di parkiran."
Tanpa bertanya, aku sudah bisa menebak kalau ini adalah kabar buruk. Acha juga pasti sepemikiran denganku makanya sepanjang jalan menuju parkiran dia terus meminta maaf.
"Nggak papa. Tante Windi nggak bakalan gigit aku, kan?" Aku mengucapkannya dengan nada berkelakar untuk menghibur diri sendiri.
"Pokoknya apa pun yang Tante Windi katakan, jangan dimasukin ke hati ya, Va."
Seperti hendak melepasku ke medan perang, tatapan Acha menyiratkan begitu banyak kekhawatiran. Sewaktu membukakan pintu mobil Tante Windi untukku, dia juga terlihat ragu-ragu.
Aku mengusap lengan Acha sambil tersenyum sebelum akhirnya masuk ke mobil Tante Windi dan duduk di sebelah bangku kemudi.
Sebagai basa-basi, aku menyapa Tante Windi meski tak ada keramahan yang beliau tunjukkan.
"Sejauh mana hubunganmu dengan Ayas?"
Senyum di wajahku pudar. Walaupun sudah menduga bahwa pertanyaan seperti itu akan muncul, tapi aku tidak menyangka akan ditodong secepat ini.
"Sa-saya …." Sialnya kemampuan bicaraku hilang. Aku mendadak gagu.
"Jangan senang dulu. Saya yakin Ayas hanya main-main dengan kamu." Sejak tadi, Tante Windi menatap lurus ke depan. Wanita itu seakan tak sudi untuk sekedar melirik aku yang mungkin dianggap menjijikan.
Setelah mengatur napas dan menyusun kata-kata dengan baik di kepala, aku berkata,
"Tante, saya dan Bang Ayas memang tidak ada hubungan apa-apa."
Aku tidak bisa melihat dengan pasti bagaimana ekspresi Tante Windi saat ini. Hanya saja, dari suara samar yang dikeluarkan, sepertinya wanita itu sempat menyunggingkan senyum meremehkan.
"Itu artinya, kamu sengaja menggoda Ayas dan membuat dia menolak dijodohkan?"
"Tidak—"
"Asal kamu tau. Selera Ayas itu tinggi. Dia tidak mungkin suka sama anak ingusan seperti kamu. Kalaupun dia memuji kamu cantik, saya yakin itu hanya omong kosong. Semua perempuan yang dijodohkan dengannya jauh lebih cantik dari kamu. Dan yang pasti, mereka sudah mapan dan berasal dari keluarga yang jelas."
Aku menelan kembali kata-kata yang tadi sudah berada di ujung lidah.
"Mulai sekarang, jauhi Acha. Saya yakin kamu berteman dengan keponakan saya hanya untuk menggoda Ayas."
***
Hai, Kutukan Perjaka Tua sudah tamat di KBM App ya. Tersedia juga novel cetaknya. Dan grup Telegram berbayar akan segera ready dalam waktu dekat.