Apakah Besok Anak Saya Masih Bisa Hidup, Dokter???
Ibunda Vano menaburkan bunga di atas pusara sang putra di Desa Ngebruk, Sumberpucung, Kabupaten Malang (21/10). (Hanifuddin Musa/Jawa Pos Radar Malang)
-Duka akibat tragedi Kanjuruhan 1 Oktober kembali mencuat. Satu suporter remaja yang dirawat di RSSA sejak 2 Oktober lalu akhirnya meninggal dunia kemarin (21/10).
Dia adalah Reyvano Dwi Afriansyah, Aremania yang masih berusia 17 tahun. Siswa SMKN 4 Kota Malang itu tercatat sebagai korban meninggal ke-134 tragedi Kanjuruhan.
Kabar Vano (panggilan Reyvano) disampaikan Kepala Bidang Pelayanan Medik RSSA dr I Wayan Agung Indrawan Sp.OG (K).
Dokter spesialis obgyn itu mengatakan, Vano dinyatakan meninggal dunia pukul 06.45. Remaja itu telah menjalani perawatan di Intensive Care Unit (ICU) selama 18 hari.
“Semula, pasien sempat dirawat di RS Hasta Husada Kepanjen, kemudian dirujuk ke RSSA. Saat tiba di sini, kondisi nafasnya tidak stabil, sehingga harus menggunakan ventilator,” ujarnya.
Dari keterangan tim dokter, Vano mengalami beberapa luka. Di antaranya luka pada bagian kepala, tulang dada, clavicula (tulang yang membentang antara tulang belikat dan tulang dada), serta cedera kepala. Hal tersebut membuat kondisinya naik turun.
“Selama di RSSA, pasien tidak pernah keluar dari ICU, dan tidak pernah lepas dari alat bantu napas (ventilator). Kami terus berjuang bersama almarhum. Tapi Allah berkehendak lain,” terangnya.
Setelah dinyatakan meninggal dunia, jenazah Vano segera dibawa ke kediamannya di Dusun Kebonsari, Desa Ngebruk, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang. Dia diantar oleh beberapa anggota keluarga, termasuk wali kelasnya di SMK Negeri 4 Kota Malang, Kurniaji.
Saat dihubungi, Kurniaji mengungkapkan sejak awal pihak sekolah terus berkomunikasi dengan keluarga Vano. Pada waktu kejadian, keluarga kebingungan karena siswa kelas 12 jurusan desain grafis itu sempat menghilang. Namun pada 2 Oktober pagi, keluarga dan sekolah mendapat kabar soal Vano.
“Informasi yang saya dapat saat itu, Vano mengalami beberapa luka. Retak pada bagian dada atas dan tangan. Selain itu ada bagian otak yang mengalami pembengkakan,” jelasnya.
Pembengkakan pada bagian otak itulah yang diduga memengaruhi kondisi Vano. Sementara di paru-paru tidak ditemukan cairan atau pendarahan.
Kurniaji mengaku tidak mengetahui banyak soal anak didiknya itu karena dia merupakan wali kelas pengganti. Yang dia tahu, Vano sedang menjalani pelatihan kerja lapangan (PKL) dan dijadwalkan selesai November mendatang.
Selama Vano menjalani perawatan, Kurniaji mengatakan pihak sekolah juga terus memberikan perhatian.
“Setiap hari Minggu saya mengusahakan untuk berkunjung ke rumah sakit. Selain itu, pada hari Jumat kami rutin menggelar doa bersama,” katanya.
SMKN 4 memang sangat berduka atas terjadinya tragedi Kanjuruhan. Mereka tidak hanya kehilangan Vano. Dua siswa lain dari sekolah itu meninggal pasca-pertandingan Arema FC Kontra Persebaya 1 Oktober lalu.
Dua pelajar itu adalah Astrid Nafisa Putri Subagio dan Gabby Setya Wardhana. Sementara satu siswa lain bernama Musya’ Fadilah Rosyid mengalami luka-luka.
“Sebagai instansi, tentu kami sangat bersedih. Akibat kesalahan prosedur bisa menyebabkan banyak penderitaan. Terutama bagi orang tua korban. Ya mudah-mudahan tidak terulang lagi,” tegasnya.
Manja, Suka Minta Disuapi
Sekitar pukul 10.50, Vano dimakamkan di tempat pemakaman umum Desa Ngebruk. Jaraknya sekitar 50 meter dari rumah duka. Linangan air mata mengiringi pemakaman itu, bercampur dengan hujan yang turun rintik-rintik.
Arif Yuliarto, ayah Vano, mengatakan bahwa anaknya sudah sering menonton pertandingan Arema FC di stadion. Biasanya dia cepat pulang setelah pertandingan selesai. Namun hari itu, Vano belum pulang meski jam menunjukkan angka 23.00. “Awalnya saya mengira jalanan macet, atau masih nongkrong,” kata pria 48 tahun itu.
Tepat dini hari, Arif mendapat kabar bahwa di Kanjuruhan terjadi kerusuhan. Ada puluhan orang yang meninggal. Arif pun langsung mengambil ponsel dan mengecek kabar yang beredar di media sosial. Dia juga berusaha menghubungi ponsel Vano, namun sama sekali tidak direspons.
Karena khawatir, Arif bergegas menuju Kepanjen dan mendatangi sejumlah rumah sakit. Di antaranya, RSUD Kepanjen, RS Wava Husada, dan RS Hasta Husada. Namun pagi buta itu dia tidak menemukan Vano.
Pencarian terus dilakukan dengan cara menyebarkan foto di media sosial dan aplikasi percakapan yang disertai alamat lengkap Vano. Pukul 08.00, Ayah dua anak itu mendapat kabar bahwa Vano berada di RS Hasta Husada. Seketika itu Arif mendatangi lokasi dan mendapati anaknya dalam kondisi kritis.
“Pukul 09.00 Vano dibawa ke RSSA. Dia dirawat di sana dalam kondisi tak sadarkan diri,” papar Arif.
Selama di rumah sakit, Arif mengatakan bahwa detak jantung Fano naik turun. Pertanda jika kondisinya sedang parah. Arif semakin gundah saat mendapat kabar dari dokter bahwa jantung Vano mengalami pembengkakan.
Karena itulah, ketika ada panggilan dari dokter atas nama Arif korban Kanjuruhan, dia selalu khawatir. Apakah panggilan itu berujung kabar duka sang anak bungsu, atau kabar baik tentang kesembuhan Vano. “Yang saya tanyakan setiap hari pada dokter, apakah besok anak saya masih bisa hidup?” kata Arif dengan nada pelan.
Selama Vano dirawat, Arif kerap “mengusir” gundah dengan duduk di tepi jalan, melamun, dan memikirkan kesembuhan anaknya itu. Dia selalu terbayang bahwa Vano adalah anak pendiam namun manja. Setiap mau makan, Vano selalu minta di suapi, meski umurnya sudah 17 tahun.
“Saya mencoba menerima dan ikhlas atas kepergian anak saya yang nomor dua itu. Saya tidak mau dia diautopsi,” tandas Arif.
Zaki, teman sekolah korban, menceritakan bahwa Vano tergolong pendiam. Tapi sekali bicara biasanya sangat lucu. Setiap hari selalu membuat teman-temannya tertawa.
“Itu yang membuat kami merasa kehilangan,” kata remaja asal Kelurahan Mojolango, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang itu.
Source: JAWAPOS