Preeklamsia, Momok Menegangkan Menakutkan dalam Kehamilan dan Persalinan Antara Perjuangan Hidup Atau Mati
Preeklamsia, sebuah kata yang masih asing ditelinga saya ketika jelang melahirkan anak pertama. Sepengetahuan saya secara umum, preeklamsia adalah keracunan kehamilan. Preeklamsia bisa menimpa ketika kehamilan dan pada saat proses persalinan. Apabila menimpa saat kehamilan ada dua resiko, bayi meninggal di dalam kandungan atau bayi hidup tapi harus saat itu juga dikeluarkan karena membahayakan janin dan ibu yang mengandung.
Saya bukan orang medis, tetapi saya hanya ingin berbagi cerita dan pengalaman berkaitan dengan proses persalinan saya. Semoga bisa diambil manfaat dan hikmahnya.
Waktu itu kehamilan saya sudah cukup bulan, dan ketika ke bidan sudah bukaan 1. Tapi di luar dugaan, tensi saya tinggi 160/
Hampir 1 hari saya diinduksi supaya mempercepat pembukaan dan dilakukan tindakan untuk menurunkan tensi saya. Akhirnya ketika pembukaan lengkap, saya masuk ruang persalinan normal. Selama proses persalinan, tiap kali saya mengejan ada perawat yang menginfokan tensi saya. Tiap mengejan, tensi naik, naik, dan naik..
Akhirnya ketika diambang 190/140(ambang bawah saya lupa) dokter memberhentikan persalinan saya, suami saya dipanggil ke luar ruangan persalinan. Ternyata saya harus segera darurat operasi, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tensi hampir 200.
Lalu segera tim medis, dokter dan perawat segera mempersiapkan operasi SC darurat untuk saya. Selama SC saya tidak sadar. Saya tersadar ketika perut saya sudah mengecil, dan terdengar bunyi gemerincing alat-alat operasi yang sedang dicuci. Alhamdulillah saya dan si sulung sehat, walau saya sempat pendarahan juga pasca operasi menghabiskan 1 kantong darah. Darah saya AB jadi lumayan susah mencarinya. Saat itu PMI pas kehabisan stok, jadi suami dan adik mencari darah sampai keluar kota. Alhamdulillah dapat 1 kantong. Karena kondisi saya sempat drop maka saya agak lama pulang dari rumah sakit. Bayi juga sempat masuk inkubator karena proses persalinan yang agak lama, maka bayi pun kurang sehat.
Normal SC pulang 3-5 hari tapi saya waktu itu sampai 8 hari. Alhamdulillah sesudahnya saya dan si sulung sehat. Sekarang Farras sudah jelang 17 tahun, sudah remaja dan saat ini menjadi santri di Pondok Pesantren Zam-Zam, Cilongok.
B. Persalinan kedua
Empat tahun kemudian saya diamanahi hamil lagi. Untuk kehamilan kedua ini saya selalu kontrol ke dokter kandungan. Masih bisa berharap melahirkan normal, maka saya banyak bertanya prosedur VBAC ( Vaginal Birth After Caesar), banyak baca buku dan artikel yang memotivasi melahirkan normal setelah operasi, dan banyak berdoa juga pastinya. Karena ketika Alloh berkehendak maka jadilah. Alhamdulillah kehamilan kedua lancar saja. Tibalah jelang persalinan. Ternyata ketika masuk rumah sakit saat itu saya belum bukaan, tapi mulas-mulas sudah mulai rutin. Dan tensi saya tinggi lagi, 140/100.
Preeklamsia again !!!
Sudah agak down saya waktu itu, terbersit ingin langsung SC saja. Takut seperti persalinan pertama, sudah berusaha normal, akhirnya SC jg, sakit semuanya. Jalan lahir kebuka, perut juga dioperasi. Tapi dokter menyuport saya bisa melahirkan normal. Mungkin ini salah satu kekuatan yang bisa memantapkan hati saya melahirkan normal. Ketika dikonsultasikan
Waktu itu jam 10 malam. Prediksi dokter dan perawat kemungkinan persalinan besoknya karena belum bukaan. Alhamdulillah pukul 00.30 WIB pecah ketuban dan sudah bukaan 1, dokter dan perawat masih memperkirakan kemungkinan paginya baru bukaan 10. Tapi ternyata pukul 02.00 WIB sudah bukaan 5 dan pukul 03.00 lengkap sudah bukaannya.
Tiba saat persalinan dengan kondisi masih diturunkan tensi saya. Alhamdulillah walau proses agak lama dan tensi sempat naik ke 160 anak saya bisa lahir dengan normal.
Tidak terbayangkan bahagia hati saya bisa melahirkan normal, tapi sedihnya karena proses persalinan yg lama maka bayi saya harus diinkubator agak lama. Ketika lahir tidak menangis, diam seribu bahasa ketika berada diatas perut saya. Bayi saya terkena asfeksia (kekurangan oksigen) sehingga ketika diinkubator terpasang berbagai kabel dan alat oksigen. Sedih saya melihatnya.
Saya terpisah dari bayi saya karena harus dirawat intensif di ruang khusus.
Setiap jadwal menyusui saya yang masih di kamar perawatan ditelpon untuk menyusui di ruang intensif perawatan inkubator bayi. Ketika dokter menyatakan saya boleh pulang tapi tidak dengan bayi saya, hancur rasanya hati ini. Apakah saya harus meninggalkan bayi saya, sedang dia sendirian di rumah sakit?
Maka saya putuskan tetap berada di rumah sakit . Saya masih berada di ruang kamar walaupun saya sehat-sehat saja. Setiap jadwal menyusui saya ditelpon untuk segera ke ruang inkubator bayi. Sejenak dilepaslah kabel-kabel yang terpasang di badan mungil bayiku. Selepas menyusui kutidurkan lagi di box inkubator, tapi setiap selesai menyusui pasti dia menangis keras-keras. Seakan-akan bilang "Bunda jangan tinggalkan aku sendirian disini..."
Sedihnya selepas menyusui, saya tinggalkan dia di ruang inkubator. Setelah lima hari barulah bayi saya dinyatakan sehat dan boleh pulang.
Persalinan kedua ini pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Alhamdulillah saya bisa melahirkan normal, namun di sisi lain bayi saya sempat dalam kondisi kritis dan melewati fase perjuangan yang luar biasa. Sekarang bayi saya kedua ini sudah jelang 12 tahun. Alhamdulillah, semoga tumbuh menjadi anak yang sehat dan semoga shalihah selalu Fadiya sayang..
C. Persalinan ketiga
Jelang empat tahun kemudian saya hamil anak ketiga. Pernah ada teman yang berkata, 2x persalinan saya menyeramkan tapi kok saya mau hamil lagi? Kami percaya dan pasrahkan pada Allah saja. Pingin rumah lebih rame lagi. Tapi tentunya kami berdua konsultasikan juga dengan dr. SPOG yang menangani. Alhamdulillah bisa saja, hanya ketika periksa pernah beberapa kali dokter mengatakan bahwa ketebalan dinding rahim saya sudah tipis sekali, jadi sudah tidak direkomendasika
Akhirnya ketika masuk 39 minggu, Bismillah dengan kesiapan mental dan dukungan keluarga tercinta maka saya menjalani SC terencana. Alhamdulillah bayi saya sehat ketika lahir, walau paling kecil dibandingkan kakak-kakaknya.
Tapi sempat ditengah-tengah
Saya sempat menanyakan berkaitan dengan kenaikan tensi saya setiap proses persalinan kepada dr. SPOG. Karena apakah itu? Dokterpun tidak bisa menjawab dengan pasti, karena di sepanjang kehamilan tensi saya selalu normal. Tapi ketika persalinan tensi kemudian naik. Banyak orang menilai saya tegang, padahal saya merasa biasa-biasa saja. Dan menurut dr. SPOG ini tidak ada kaitannya dengan ketegangan, tapi dari janin. Jadi bawaan janin setiap mau keluar tensi sayapun terus naik.
Namun begitu berulang kali saya bersyukur kepadaNya yang telah memberikan saya tiga buah hati yang setiap proses persalinannya adalah masa-masa perjuangan yang luar biasa bagi saya. Banyak kasus preeklamsia yang belum cukup bulan akhirnya bayi meninggal didalam, atau si ibu yang tidak kuat sehingga meninggal atau bisa juga meninggal keduanya.
Masyaallah kalau ingat seperti ini rasa syukur yg tidak bertepi kupanjatkan padaMu ya Allah ..
Pengalaman melahirkan tiap orang pasti berbeda-beda, dan itu adalah jihadnya seorang wanita. Ketika seorang wanita melahirkan meninggal maka itu terhitung sebagai syahid.
Masyaallah...
Oleh karena itu hargailah wanita apa adanya, melahirkan normal atau SC itu tidak menunjukkan perbedaan dalam perjuangannya dalam melahirkan..
Semua sama-sama berjuang melahirkan dan memberikan yang terbaik untuk buah hati dan keluarga nya. Yang terpenting adalah bunda dan bayinya sehat semua dan berusaha bersama-sama menjalankan peran sesuai yang sudah digariskanNya.
Seperti apapun kondisi persalinanmu bersyukurlah selalu karena pasti menyimpan hikmah yang besar bagi kita semua. Pengalaman dan pelajaran berharga yang bisa kita ambil.
Saling menghargai ketika melahirkan dengan cara apapun karena pastinya tiap-tiap orang berbeda-beda dan pengalaman saya tetap hormati juga keputusan medis yang diambil. Walau bagaimanapun juga keputusan medis perlu kita lakukan untuk keselamatan dan kebaikan semuanya..
Setelah itu jalani peranmu sebaik-baiknya.
Sumber:
Oleh : Yanu Emika Wijaya
Post a Comment