*Berapa Frekuensi Berhubungan Intim Suami-Istri Menurut Syariat?*
Terdapat ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama ketika membahas berapa kadar dan frekuensi berhubungan intim suami-istri. Hal ini terkait dengan hak istri untuk mendapatkan nafkah batin. Karena istri juga sebagaimana suami, membutuhkan nafkah batin. Ada ulama yang berpendapat minimal sekali setiap empat hari. Ada yang berpendapat minimal sekali selama masa suci. Ada yang berpendapat maksimal 4 bulan sekali.
Pendapat terkuat dalam hal ini adalah frekuensi berhubungan intim suami-istri itu tergantung dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing individu, serta kadar kemampuan menahan diri dari gelora syahwat. Jangan sampai suami dan istri terlantar, serta tidak terpenuhi kebutuhan primer nafkah batin tersebut. Apabila tidak terpenuhi, akan mengantarkan kepada hal yang diharamkan.
Perbedaan pendapat ulama ini disampaikan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata,
واختلف العلماء فيمن كف عن جماع زوجته فقال مالك : إن كان بغير ضرورة ألزم به أو يفرق بينهما ، ونحوه عن أحمد ، والمشهور عند الشافعية أنه لا يجب عليه ، وقيل يجب مرة ، وعن بعض السلف في كل أربع ليلة ، وعن بعضهم في كل طهر مرة
“Ulama berselisih pendapat mengenai suami yang tidak berhubungan intim dengan istrinya. Malik berkata, ‘Apabila bukan keadaan darurat, maka suami dipaksa berhubungan intim atau dipisahkan (cerai).’ Pendapat semisal ini juga dari Imam Ahmad. Pendapat yang masyhur dari Syafi’iyyah bahwasanya tidak wajib. Pendapat lain mengatakan wajib sekali waktu. Sebagian salaf menyatakan setiap empat hari, sekali. Sebagian lagi berpendapat setiap masa suci, sekali.” (Fathul Bari, 9: 210)
Pendapat yang masyhur juga adalah suami hendaknya berhubungan badan dengan istrinya sekali, selama rentang empat hari. Karena patokannya sekiranya (dianggap) dia punya empat istri, maka setiap istri mendapat hak hubungan intim setiap empat hari.
Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan,
إذا كانت له امرأة لزمه المبيت عندها ليلة من كل أربع ليال ما لم يكن له عذر
“Apabila dia memiliki satu istri, maka dia wajib bermalam dengannya satu malam dari setiap empat malam, selama tidak ada uzur.” (al-Mughni, 7: 28)
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa berhubungan badan minimal setiap 4 bulan, sekali, berdalil dengan ketetapan Umar bin Khattab yang mewajibkan setiap pasukan yang berjihad agar pulang menemui istrinya setelah 4 bulan. Karena wanita tidak bisa menahan lebih dari 4 bulan.
Perhatikan riwayat berikut,
أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه خرج ليلة يحرس الناس
فمر بامرأة وهي في بيتها وهي تقول
(تطاول هذا الليل واسود جانبه وطال علي ألا خليل ألاعبه)
(فوالله لولا خشية الله وحده لحرك من هذا السرير جوانبه)
“Bahwasanya Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu keluar pada suatu malam menjaga rakyat. Lalu dia melewati seorang wanita sedang bersyair di dalam rumahnya.
Malam ini begitu lama, sisi-sisinya begitu hitam.
Menjadi semakin lama pula terasa atasku, tanpa ada kekasih yang aku bercumbu dengannya.
Demi Allah, seandainya bukan karena rasa takut terhadap Allah semata.
Pastilah sisi-sisi tempat tidur ini sudah bergoyang-goyang.”
Maksud “pastilah sisi-sisi tempat tidur ini sudah bergoyang-goyang” adalah jika tidak ada rasa takwa/takut kepada Allah, maka ranjangnya pasti akan digoyang oleh laki-laki yang lain. Karena saking lamanya, dia tidak tahan untuk tidak disentuh (syahwat biologisnya tidak tersalurkan). (pent.)
فلمل أصبح عمر أرسل إلى المرأة فسأل عنها فقيل :هذه فلانة بنت فلان وزوجها غاز في سبيل الله فأرسل إليها امرأة فقال : كوني معها حتى يأتي زوجها وكتب إلى زوجها فأقفله ثم ذهب إلى حفصة بنته
“Maka di waktu pagi, Umar mengirim utusan kepada wanita tersebut dan bertanya tentangnya. Lalu disampaikan, ‘Ini adalah Fulanah binti Fulan, suaminya berperang di jalan Allah.’ Lalu Umar mengirim seorang wanita kepadanya dengan berkata, ‘Tinggallah kamu bersamanya sampai suaminya datang!’ Dan Umar menulis surat kepada suaminya, lalu menyuruhnya pulang. Kemudian Umar pergi kepada Hafshah putrinya.”
فقال لها يا بنية ! كم تصبر المرأة عن زوجها ؟ فقالت له: يا أبه ! يغفر الله لك أمثلك يسأل مثلي عن هذا ؟ فقال لها : إنه لولا أنه شيء أريد أن أنظر فيه للرعية ما سألتك عن هذا قالت : أربعة أشهر أو خمسة أشهر أو ستة أشهر فقال عمر : يغزو الناس يسيرون شهرا ذاهبين ويكونون في غزوهم أربعة أشهر ويقفلون شهرا فوقت ذلك للناس من سنتهم في غزوهم
“Maka Umar berkata kepadanya, ‘Wahai putriku! Berapa lama seorang wanita sabar ditinggal suaminya?’ Maka dia menjawab, ‘Wahai ayahanda! Semoga Allah mengampuni Anda. Orang seperti Anda bertanya kepada orang sepertiku tentang masalah ini?’ Umar menjawab, ‘Seandainya bukan karena aku ingin melihat urusan kaum muslimin (sebagai rakyat), aku tidak akan bertanya kepadamu.’ Dia menjawab, ‘Empat bulan, lima bulan, atau enam bulan.’ Maka Umar berkata, ‘Manusia akan berperang (maksimal): satu bulan pada perjalanan berangkat, empat bulan dalam medan perang, dan satu bulan untuk perjalanan pulang.’ Lalu Umar menetapkan waktu tersebut untuk manusia yang menjadi ketetapan manusia dalam berperang.” (Sunan Sa’id bin Manshur 2: 210 no. 2463, Darus Salafiyah, cet. pertama, 1403 H, Asy-Syamilah)
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan sisi pendalilan ini. Suami harus dipaksa setiap 4 bulan sekali. Beliau rahimahullah berkata,
( ويلزمه ) أي : الزوج ( وطء ) زوجته مسلمة كانت أو كافرة , حرة أو أمة بطلبها ( في كل ثلث سنة مرة إن قدر ) على الوطء نصا
“Suami dipaksa untuk berhubungan intim dengan istrinya, baik muslimah maupun kafir (ahli kitab), baik merdeka atau budak, dengan permintaan mereka, setiap sepertiga tahun (empat bulan sekali) apabila mampu, sesuai dengan nash.” (Fathul Bari, 9: 6)
Pendapat terkuat dalam hal ini yaitu hubungan intim tergantung kemampuan suami dan tidak sampai menelantarkan nafkah batin istri, yang apabila tidak ditunaikan, akan mengantarkan kepada perbuatan haram. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan,
ويجب على الزوج وطء امرأته بقدر كفايتها ما لم ينهك بدنه أو يشغله عن معيشته
“Wajib bagi suami berhubungan intim dengan istrinya sesuai kemampuannya selama tidak menganggu fisiknya dan melalaikan dari mencari nafkah.” (Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah, hal 246)
Pendapat ini dikuatkan karena tidak ada nash tegas dalam syariat yang menetapkan frekuensi, jumlah, dan angka. Misalnya, hadis yang menyebutkan “wajib berhubungan intim dengan istri setiap sekian hari”. Nash (dalil) tegas seperti ini tidak ada. Oleh karena itu, ketentuan tersebut kembali kepada ‘urf (adat dan kebiasaan setempat). Bisa jadi, kekuatan fisik dan syahwat setiap suku dan bangsa berbeda-beda. Lalu apabila dirinci, setiap individu dari bangsa tersebut juga berbeda-beda lagi kekuatannya dalam hal ini.
Sebagaimana kaidah,
العادة محكمة
“Adat (kebiasaan) dapat dijadikan sandaran hukum.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan kaidah ini,
ولهذا قال الفقهاء: الأسماء ثلاثة أنواع: نوع يعرف حده بالشرع؛ كالصلاة والزكاة. ونوع يعرف حده باللغة؛ كالشمس والقمر. ونوع يعرف حده بالعرف ، كلفظ القبض، ولفظ المعروف.
“Oleh karena itu, para ahli fikih menjelaslan bahwa istilah (nama) itu ada tiga:
Pertama, yang didefinisikan oleh syariat, seperti salat dan zakat.
Kedua, yang didefinisikan oleh bahasa, seperti matahari dan bulan.
Ketiga, yang didefinisikan oleh adat/budaya, seperti lafaz jual beli dan patokan berbuat baik.” (Al-Iman, hal. 224)
Demikian, semoga bermanfaat.
Sumber muslim.or.id