Setelah Berhubungan, Ternyata Isterinya Sudah Bukan Perawan Lagi Atau Sudah Janda?
Pertanyaan:
Saya telah menikah dengan seorang wanita yang saya meyakininya bahwa dia masih perawan, namun ketika saya telah berhubungan dengannya ternyata dia sudah tidak gadis lagi. Maka saya menceraikannya dan mengambil mahar yang telah saya berikan kepada keluarga mereka. Patut diketahui sesungguhnya wanita yang saya nikahi mengakui bahwa dia sudah tidak gadis lagi pada malam di mana saya berhubungan dengannya dan dia mengatakan bahwa kedua orang tuanya telah mengetahui akan hal tersebut dan mereka dengan sengaja ingin mengelabui saya. Perempuan ini juga mengaku bahwa yang merampas kehormatannya adalah suami dari bibinya (adik perempuan ibunya) padahal dialah yang memediasi antara saya dan keluarga mereka. Apa yang harus saya lakukan dalam hal ini?
Jawaban: Alhamdulillah.
Pertama :
Tidak diragukan lagi sesungguhnya perbuatan zina merupakan kekejian tebesar yang syariat Islam datang dan menganjurkan untuk menghindarinya.
Kedua :
Adapun khusus bagi seorang istri dan keluarganya yang menutup-nutupi akan hilangnya keperawanannya,
Rahimahullah mengungkapkan tentang masalah ini. Di bawah ini sebagian fatwa Ulama Allajnah Addaaimah :
1- Ulama Al-lajnah Ad-daaimah ditanya: Seorang muslimah dimasa kecilnya mengalami kecelakaan yang mengakibatkan hilangnya lapisan keperawanannya,
Mereka para Ulama menjawab: Secara syari’at bukanlah sebuah dosa apabila pihak wanita merahasiakan hal tersebut. Namun, ketika suaminya menanyakannya setelah berhubungan badan maka hendaklah dia menyampaikan yang sebenarnya. (Syekh Abdul Aziz Bin Baaz dan Syekh Abdur Razzaq ‘Afifi, Fatawa Allajnah Addaaimah, 5/19)
1- Ulama Al-lajnah Ad-daaimah ditanya: Seorang muslimah dimasa kecilnya mengalami kecelakaan yang mengakibatkan hilangnya lapisan keperawanannya,
Mereka para Ulama menjawab: Secara syari’at bukanlah sebuah dosa apabila pihak wanita merahasiakan hal tersebut. Namun, ketika suaminya menanyakannya setelah berhubungan badan maka hendaklah dia menyampaikan yang sebenarnya. (Syekh Abdul Aziz Bin Baaz dan Syekh Abdur Razzaq ‘Afifi, Fatawa Allajnah Addaaimah, 5/19)
2- Syekh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah mengungkapkan: Jika dia mengakui bahwa kegadisannya telah lenyap dalam kejadian yang bukan merupakan perzinaan, maka tidak ada dosa baginya, atau bahkan meskipun hilangnya kegadisan tersebut karena perbuatan keji seperti pelecehan seksual atau diperkosa, maka sesungguhnya hal ini tidak merugikan pihak suami. Jika memang setelah kejadian tersebut dia telah kedapatan haid seperti sediakala, atau karena perzinaan dan dia telah menyesal serta bertaubat. Karena bisa jadi hal ini dia lakukan saat belum paham tentang syari’at lalu setelah itu dia menyesal dan bertaubat. Maka sudah tentu hal inipun tidak merugikan pihak suami sama sekali, dan tidak seharusnya suami menyebarluaskan
Ketiga :
Jika seorang suami mensyaratkan agar istrinya masih gadis lalu dia mendapatinya tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan, maka dia berhak menuntut Fasakh atau pembatalan pernikahan. Bila hal demikian diketahuinya sebelum melakukan hubungan suami-istri maka tidak ada sedikitpun mahar untuk istri. Namun jika dia mengetahuinya setelah melakukan hubungan suami-istri dan pihak istrilah yang mengelabuinya, maka dia berkewajiban mengembalikan semua maharnya. Apabila wali dari istrinya atau orang lain yang mengelabuinya, maka mahar wajib dibayarkan kepada sang suami.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengungkapkan: Jika salah seorang dari suami maupun istri mensyaratkan kepada pasangannya sifat-sifat tertentu, seperti kesempurnaan, kecantikan, ketampanan, kegadisan dan lain sebagainya maka yang demikian itu bisa dibenarkan. Dan yang memberikan syarat berhak membatalkan pernikahan apabila tidak sesuai dengan kriteria syarat yang diberikan. Ini merupakan salah satu riwayat yang paling benar dari Ahmad, dan salah satu pendapat yang paling benar dari As Syafi’i, dan pendapat dari mazhab Malik. Adapun pendapat yang lain menyebutkan, tidak berhak menuntut pembatalan pernikahan, kecuali jika syaratnya masalah merdeka dan kesamaan dalam agama.” (Majmu’ Fatawa, 29/175)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Apabila mensyaratkan kesempurnaan fisik atau kecantikan, lalu ia mendapatinya buruk rupa, atau mensyaratkan masih muda belia, padahal kenyataannya sudah tua dan uban menyala di rambutnya, atau mensyaratkan berkulit putih, lalu kenyataannya berkulit hitam, atau mensyaratkan masih gadis, akan tetapi ia telah janda, maka dia (suami) boleh menuntut fasakh (pembatalan pernikahan) terhadap itu semua.
Jika suami belum berhubungan intim dengannya (apabila terjadi pembatalan pernikahan), maka tidak ada mahar bagi istri. Adapun jika sudah behubungan suami-istri maka istri berhak mendapat mahar yang telah ditentukan dan wali perempuan mendapat denda apabila memang walinya mengelabui sang suami. Jika istri itu sendiri yang mengelabuinya maka gugurlah kewajiban membayar mahar untuknya, atau suami bisa menuntut istrinya dari kedustaan yang telah dilakukannya. Imam Ahmad mengambil pendapat tersebut dalam salah satu riwayat dari beliau, karena riwayat tersebut lebih mendekati kias dan lebih sesuai dengan ushul mazhab beliau yaitu tentang jika suami yang memberikan syarat. (dari kitab “ Zaadul Ma’ad” , 5/184-185 )
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
rahimahullah pernah ditanya: Apabila kegadisan seorang perempuan hilang karena berhubungan yang halal atau tidak halal, maka bagaimana hukumnya dalam syari’at Islam jika seorang lelaki menikahinya dengan menyertakan dua kondisi :
· Kondisi pertama : Apabila mensyaratkan kegadisan atau keperawanan.
· Kondisi kedua : Apabila tidak mensyaratkan kegadisan atau keperawanan.
Apakah dia memiliki kewenangan untuk meminta fasakh ataukah tidak?
Lalu beliau menjawab: Yang sudah sama-sama dimaklumi di kalangan para ulama Fiqih adalah apabila seseorang menikahi seorang wanita dengan penuh keyakinan bahwa dia masih perawan, akan tetapi dia tidak menjadikan kegadisan sebagai syarat utama, maka tidak ada pilihan baginya (tidak memiliki hak membatalkan pernikahan); disamping karena bisa jadi kegadisan itu hilang sebab kurangnya kepedulian seorang wanita terhadap dirinya sendiri, atau karena kecelakaan yang amat kuat sehingga merobek keperawanan, atau disebabkan perzinaan di bawah tekanan dan paksaan, maka selama kemungkinan-kem
Adapun apabila suami mensyaratkan wajibnya kegadisan sang istri dalam akad nikahnya, dan ternyata dia mendapatinya sudah tidak perawan lagi, maka dia berhak memilih untuk menuntut fasakh atau melanjutkan pernikahannya. (Dikutip dari kitab Liqoaat Albab Al Maftuh, 67/soal no. 13).
Berdasarkan hal tersebut, jika anda mensyaratkan pada saat akad nikah keharusan sebuah kegadisan atau keperawanan, bagi anda berhak menuntut kembali mahar yang telah diberikan, dan anda juga berhak menceraikannya jika memang anda berkehendak untuk itu dan anda merasa tidak nyaman lagi hidup bersama istri anda. Adapun jika anda tidak mensyaratkan kegadisan pada saat akad nikah, maka sama sekali anda tidak berhak untuk menuntut kembali mahar yang telah diberikan. Nasehat yang diberikan dalam hal ini adalah hendaknya anda tetap hidup bersama istri anda dan menutupi aibnya jika memang dia telah bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya dan ada indikasi serta kemauan dia telah istiqomah dalam menjalankan syari’at agama.
Wallahu A’lam Bisshowab
Oleh : Asy-syaikh Mohammad Shalih Al-monajjed حفظه الله تعالى