LAIN ISTRI LAIN REZEKI, BEDA ISTRI BEDA REZEKI


LAIN ISTRI LAIN REZEKI, BEDA ISTRI BEDA REZEKI


"Yah, sepatu futsal aku udah butut nih. Gak enak banget dipakainya." Anak laki-laki berumur lima belas tahun itu mendekati ayahnya di meja makan.

"Uangnya lagi dipake buat kepentingan lain dulu, Zi," sahut Panji pada anak kandungnya. Pria itu tengah menyiduk nasi dari wadah.

Kenzi berdecak kesal. Anak itu duduk di samping Ziel adik kandungnya. Saat perceraian enam tahun lalu, Panji memang membawa kedua anaknya untuk tinggal bersama.

"Kemarin janji awal bulan ini, tapi sampai tanggal tua begini aku belum dibeliin juga," protes Kenzi sambil membuang muka.


"Nanti kalo ada duitnya juga dibeliin kok, Zi." Ibu tiri Kenzi ikut berujar.

"Iya, duit ayahku habis dipake Tante buat belanja ini itu sama biayain dia," tukas Kenzi sambil melirik sengit ke arah adik tirinya yang berkebutuhan khusus.

"Zi, sudah dong! Pagi-pagi sudah mau buat ribut!" tegur Panji menaikan suara.

"Iya, suka banget menghina Zea." Istri Panji menimpali, "gini-gini dia itu adik kamu," imbuhnya sambil mengelap bibir putrinya yang belepotan nasi.


"Memang kenyataannya begitu kok, Yah," balas Azriel kian berani. "Tante Hani ngrengek kukunya lecet langsung dikasih duit buat pergi ke salon."

"Kamu kalo masih banyak ngomong, ayah gak akan ragu lagi buat bungkam mulut kamu." Akhirnya Panji mengancam dengan serius.

Kenzi langsung berdiri. Dia mengurungkan niat untuk sarapan bersama. "Kalo begini mending aku pulang saja ke rumah Bunda," ancamnya sambil berlalu.


"Zi, kamu mau kemana!" Panji berseru melihat kepergian anaknya, "sarapan dulu!"

Namun, remaja kelas sepuluh SMA itu tidak menggubris seruan ayah kandungnya. Anak itu terus mengayun pergi. Hingga bertabrakan dengan saudara tirinya, Kenzi hanya menyeringai sinis.

"Kenapa Kenzi, Mah?" tanya anak sambung Panji sambil menarik kursi meja makan.

"Biasalah minta duit," sahut istri Panji enteng. Wanita itu menyuapi anak perempuannya yang baru berusia lima tahun.


"Eum ... Om, aku juga mau minta uang jajan dong," tutur anak Hani sedikit meringis.

"Ini baru tanggal sebelas lho, Ta, masa sudah minta uang saku lagi," sahut Panji datar. Dia mengunyah sarapannya dengan malas.

"Kan kebutuhan Atha terus bertambah, Mas." Hani segera membela anak kandungnya, "kamu ngasih duit jajan segitu-gitu saja."

"Uang jajan Atha dan Kenzi sama lho." Mata Panji menatap istrinya dengan tajam.

"Ya, sama tapi kebetulan mereka berbeda."

"Berbeda gimana? Mereka sama-sama kelas sepuluh kok," sanggah Panji tidak mau kalah. Sekarang pria empat puluh tahun itu beralih menghadap putra sambungnya. "Makanya kalo belum bisa cari duit sendiri, jangan pacaran dulu. Sok-sokan suka traktir cewek segala."

"Mas Panji kalo gak mau kasih Atha duit gak usah ngomong nylekit gitu dong!" sergah Hani tidak terima.


Wanita itu berlalu menuju kamar. Dia membuka tasnya. Sebuah dompet dengan brand ternama Hani keluarkan. Dirinya mengambil dua lembar uang kertas pecahan seratus ribuan. Hani pun kembali menemui anak dan suaminya.

"Nih buat jajan kamu." Hani menyerahkan uang tersebut pada Atha.

"Wahhh ... makasih banyak, Ma," ucap Atha girang. Remaja berwajah bersih itu langsung memeluk ibunya.

"Sudah sekarang kamu sarapan!" suruh Hani usai mengurai pelukan.


"Iya." Atha mengangguk antusias. Anak itu gegas menyuap nasi goreng ke mulutnya dengan cepat. Setelah tinggal separuh, bocah itu melirik arloji pada pergelangan tangannya. "Ma, Om, aku pergi berangkat, ya," pamitnya sopan.

"Hati-hati di jalan, ya." Hani mengusap pucuk rambut Atha ketika sang putra mencium punggung tangannya.

Sementara Panji hanya terdiam ketika anak sambungnya salim padanya. Atha berlalu tanpa memedulikan Ziel adiknya Kenzi.

"Mas, besok jadwalnya Zea terapi lho." Hani mengingatkan sembari meyuapi putri bungsunya.

"Tinggal berangkat sendiri, biasanya juga gitu kan?" sahut Panji acuh.

"Iya, tapi bagi duit dulu."

"Lha tadi bisa ngasih duit sama Atha, berarti masih punya duit kan?"

"Ada duit, tapi buat bayar arisan dua hari lagi, Mas."


"Kalo gitu tunda bayar arisannya!" Panji masih mencoba menghabiskan sarapannya.

"Kok ditunda?" Mata Hani langsung membulat, "ingat kita baru saja dapat undiannya dua bulan lalu kok."

"Kamu kan yang dapat? Ya sudah kamu yang bayar!"

"Enak saja uang itu juga dipake separuhnya buat bayar pegawai kamu kok."

"Han, aku itu lagi gak pegang duit," sambar Panji geregetan, "tahu sendiri kan bengkel sama toko kita lagi sepi."

"Ya, tapi kita harus bayar--"

"Ayaaah!" Ziel yang sedari tadi diam memukul piring dengan sendok. Sontak Panji dan Hani menatap bocah berumur sepuluh tahun itu. "Aku sudah makannya."

Azriel bangkit. Seperti Kenzi kakak kandungnya, anak itu berlalu meninggalkan meja makan.

"Kalo begitu terapinya yang ditunda saja." Panji memberikan usul. Dan langsung dibalas sungutan oleh sang istri.


Panji tidak menggubris. Dia lekas bangkit, lalu menyusul putra keduanya. Ternyata Azriel sudah menunggu di depan pintu mobil. Anak itu diam saja saat ayahnya mendekat.

Begitu Panji membuka pintu mobil, dia dan anaknya gegas masuk. Sepanjang perjalanan, ayah dan anak itu tidak saling bicara. Panji yang sibuk memikirkan kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Azriel yang memang enggan mengobrol dengan ayahnya.


Sampai di depan pintu gerbang sekolah anaknya, Panji menurunkan Azriel. Tidak ada basa-basi bocah itu langsung berlari pergi.

Panji sendiri langsung tancap gas. Dia melajukan mobilnya ke bengkel. Usaha yang sudah dirintisnya sejak enam belas tahun lalu. Saat ia masih beristrikan ibunya Kenzi dan Azriel.

Berkat keuletan serta doa sang istri, bengkel Panji mengalami kemajuan. Dia juga bisa membuka toko yang menjual onderdil motor. Di samping itu istri pertamanya dulu juga punya usahanya sendiri.


Ibunya Kenzi sangat pandai membuat aneka roti, kue kering dan basah. Awalnya cuma teman-temannya yang pesan. Lama-lama istrinya pun mampu membuka toko roti sendiri. Taraf hidup mereka kian meningkat.

Ujian melanda rumah tangga mereka. Panji bertemu dengan Hani mantan gebetannya waktu zaman sekolah. Saat itu Hani sudah menjadi janda dengan satu anak.


Panji yang merasa ekonominya melimpah bertekad menikahi Hani.

Namun, istrinya tidak mengizinkan. Keduanya sering bertengkar. Hingga akhirnya sang istri memilih mundur dari kehidupan Panji.

Jika mengingat hal itu Panji sering dihinggapi rasa menyesal. Karena ternyata sikap Hani tidaklah sebaik istri pertamanya yang bernama Nur Layla. Selain pandai memasak, Layla juga tipe istri rumahan.Beda dengan Hani yang suka keramaian.


Toko roti Layla yang memang bersertifikat atas nama Panji berhasil dikuasai sang suami. Sayangnya Hani tidak becus mengurus toko tersebut.

Lima tahun dipegang Hani, toko tersebut mengalami kerugian.

Selain memang para customer kecewa karena rasa rotinya sudah beda, Hani juga bukan tipe orang ramah. Sehingga sudah dua tahun toko tersebut tutup.


Panji berencana menjual bangunan tersebut. Hari ini dia akan bertemu dengan orang yang akan membeli tokonya. Panji terpaksa menjual toko tersebut karena bengkel dan tokonya pun mengalami kemunduran.

Pukul sembilan pagi orang yang akan membeli toko rotinya datang. Dilihat dari penampilannya, Panji menilai jika pembelinya adalah seorang pria yang cukup santun dan berada.

Panji membawa calon customernya untuk melihat-lihat rukonya. Dia menjelaskan semuanya. Hingga suatu ketika dia dibuat terpana mendengar penuturan calon pembelinya itu.


"Toko roti ini akan saya hadiahkan untuk seseorang yang sangat berarti untuk hidup saya. Namanya Layla. Persis seperti nama toko ini."

Panji termangu. Hani sempat menyuruh untuk mengganti nama Layla Bakery's dengan namanya. Namun, Panji dengan tegas menolak. Dia beralasan jika nama tersebut sudah banyak dikenal khalayak. Tetap saja toko tersebut bangkrut dipegang oleh Hani.

"Nama Layla ada ribuan di kota ini," batin Panji mengingatkan diri.


"Layla sangat pintar membuat kue dan roti. Red Velvet buatannya sangat enak," puji lelaki yang mengenalkan diri dengan sebutan Banyu.

Panji kembali termenung. Layla sang mantan istri paling pintar membuat Red Velvet. Kue kesukaannya. Dulu setiap hari dia selalu menikmati penganan warna merah tersebut.

"Hanya kebetulan." Lagi-lagi Panji membatin.

"Beberapa tahun lalu dia pernah punya toko roti juga." Pria yang tidak begitu jauh umurnya dari Panji itu terus bercerita. "Jadi saya berharap Layla akan terkesan saat melihat toko yang kebetulan namanya sama."

Panji tersenyum tipis. "Pastinya calon Anda akan terkesan dengan toko ini."


"Semoga saja." Calon pembeli itu kian tersenyum lebar, "sayang dia tipe wanita yang tertutup padahal sudah lama menjanda, sekitar enam tahunan."

Panji tercekat. Enam tahun sudah dia bercerai dengan Layla. "Boleh tahu siapa nama lengkap calon Anda?" tanya dia penasaran, tapi tetap bersikap tenang.

"Namanya Nur Layla."

Panji menelan ludahnya dengan susah.


Post a Comment

Konsultasi Bidan Kita